Monday 12 March 2012

Yesha, the baby that I met at an orphanage

Hari ini, entah kenapa tiba-tiba saya jadi ingat dengan satu pertemuan kecil di tahun 2003, ketika saya masih kelas 1 SMA.
Di SMA saya, pada tahun pertama masing-masing kelas kami diwajibkan mengorganisir sumbangan atau bantuan kepada panti jompo, panti asuhan, atau sejenisnya. Sumbangan ditentukan sendiri, dikumpulkan sendiri, lalu harus kami serahkan sendiri dalam kunjungan ke tempat tersebut.

Kebetulan kelas saya memutuskan untuk menyumbang ke sebuah panti asuhan rekomendasi guru kewarganegaraan kami waktu itu. Guru kami bilang, panti asuhan tersebut banyak diisi anak2 bayi dan balita, sehingga jelas barang2 yang perlu kami sumbang adalah barang2 sebangsa popok, bedak-sabun bayi, susu, biskuit, dan bubur. Tak cuma menyumbang barang dan uang, sebisa mungkin kami membuat kehadiran kami di tempat tersebut lebih dari sekedar datang, taruh sumbangan lalu pergi begitu saja.

Nama panti asuhannya kalo nggak salah Panti Asuhan Matahari Terbit. Kami pergi kesana berombongan, yang pulang-pergi diantar mobil pribadi memberi tumpangan untuk teman2 yang lain. Berhubung saya orangnya awkward kalo berurusan dengan orang baru dan banyak DAN anak2 (soalnya waktu itu saya antipati ama yang namanya anak2 =_=), maka awalnya saya pikir kunjungan ini cuma bakal jadi kunjungan garing biasa.

Ternyata saya salah.

Panti asuhan tersebut menempati sebuah gedung gaya belanda khas Surabaya tengah, mirip seperti rumah kakek-nenek saya di Bogowonto. Terasnya luas dan berupa undakan. Masuk ke dalam ruangan, berjajar sekitar dua baris boks bayi dari kayu berwarna putih, masing2 baris terdiri dari lima boks bayi. Ada suara bergumam, berceloteh, ngroweng, dan sebangsanya. Baunya khas bau kamar bayi. Ada bau ompol, ada bau susu, juga ada bau minyak telon dan bedak.

Saya agak tersentak ketika mengamati bayi dan balita di panti asuhan tersebut. Di dalam sana, waktu itu hanya ada tiga bayi, dua diantaranya perempuan. Sisanya balita, dan hanya ada sekitar tiga anak berusia lima tahun.

Ketika saya perhatikan, semuanya menunjukkan satu gejala yang sama : tatapan matanya kosong. Balita-balita itu bergerak, bergumam, minum susu dari dot, main boneka, namun ketika diajak berinteraksi, mereka hanya memperhatikan kami dengan tatapan mata kosong. Padahal, balita "normal" sepengetahuan kami biasanya akan bereaksi entah malu, sembunyi karena takut-takut, atau malah tertawa ketika kami ajak bercanda. Tapi mereka tidak. bahkan ketika kemudian kami mengadakan semacam acara mirip acara ulang tahun di teras dengan mengajak anak-anak tersebut bermain bersama pun mereka tidak menunjukkan emosi yang berarti. Dalam hati, saya saat itu bertanya-tanya apakah memang begini bedanya anak yang mendapat kasih sayang orang tua semenjak lahir dan yang (karena satu dan lain hal) tidak ya?

Tapi diantara sebegitu banyaknya anak2 yang bertatapan kosong, saya menemukan sesosok bayi mungil yang, Puji Tuhan, matanya masih bersinar-sinar kegirangan.
Saya pun bertanya pada pengasuh panti.

Bayi itu namanya Yesha. Yep, saya pun berpikir waktu itu, jangan2 ibunya demen banget nonton Meteor Garden 2 sampe2 anaknya dinamain Yesha =_=a.

Berbeda dengan anak2 asuh panti lain yang ditinggal ibunya, ditemukan di suatu tempat, atau diberikan ke panti oleh keluarga besar karena kedua orangtuanya telah tiada, Yesha masih punya orangtua. Ibunya datang sebulan sekali ke panti untuk menjenguk Yesha. Ibunya masih muda, kata pengasuhnya. Entah karena sebab apa, yang jelas ibu Yesha bilang dia menitipkan Yesha di panti ini, hanya untuk sementara, sampai ia mampu mengasuh Yesha sendiri. Ibu pengasuh panti bilang, dia tidak pernah tau ayah Yesha. di dokumen panti pun tidak ada.  Karena statusnya hanya titip, maka Yesha tidak untuk diadopsi oleh siapapun yang datang dengan niat mengadopsi.

Beneran deh, Yesha ini semacam "bersinar". Saya saat itu bener-bener ndak suka sama bayi dan anak kecil, tapi ternyata bisa bener2 luluh sampe kepengen bawa Yesha pulang aja rasanya. Saya penasaran dengan ibunya. Apa yang terjadi sampe si ibu harus tega berpisah dari bayi secantik dan se-menggemaskan itu? Apa yang terjadi jika ternyata suatu saat si ibu mendadak tidak datang mengunjungi Yesha lagi? Apakah Yesha juga akan ikut jadi anak-anak yang tidak "bersinar" lagi matanya seperti yang lain? Ketika kunjungan usai pun saya dan seorang teman (cowok, dan waktu itu gebetan saya sih)masih berat meninggalkan Yesha.
Sejak saat itu, saya bertekad dalam hati, saya akan menikah ketika saya menemukan pendamping yang mau memilih opsi mengadopsi anak ketimbang cerai dan cari pasangan baru kalau2 ternyata saya tidak bisa memberinya keturunan. Apakah saya mikir terlalu jauh? Entahlah...tapi saya rasa tidak. Sejak kecil saya sakit2an. Walopun agak tidak ada hubungannya, tapi saya punya wajah mirip salah seorang   tante yang kebetulan mengalami kesusahan memiliki anak. Dan, basically, selalu ada kemungkinan untuk itu, walau jelas saja hal tersebut tidak saya harapkan samasekali.

Yang saya pikirkan, ketika satu pasangan tidak diberkahi keturunan, hal itu bukanlah sesuatu yang mesti dianggap sebagai aib atau musibah atau petaka sampai2 harus cerai, cari istri/suami baru, atau malah berpoligami. Saya pikir, mungkin justru itu adalah kehendak Tuhan, supaya anak2 yang yatim piatu (yang di negara ini saja entah ada berapa juta) punya kesempatan untuk dicintai oleh orangtua yang lengkap dan hidup dengan layak dengan jalan diadopsi.  Saya tidak tahu, apakah anak2 yang tatapannya kosong itu tadi masih bisa "disembuhkan" kekosongannya ketika mereka diadopsi dan diberi limpahan kasih sayang yang semestinya...tapi setidaknya saya yakin, masih ada bayi-bayi cantik lain yang masih belum kehilangan sinarnya, yang pantas untuk mendapatkan lindungan orang tua yang utuh dan menyayangi mereka.

Menikah memang salah satu tujuannya adalah untuk mendapatkan keturunan. Tetapi saya pikir, ketika hal yang satu itu tidak dapat dipenuhi, masih ada begitu banyak hal selain berketurunan yang pantas untuk disyukuri dalam sebuah pernikahan, sehingga tidak begitu saja lantas dibatalkan karena perkara satu itu semata.

Hari ini waktu bongkar2 barang di kontainer baju, saya menemukan sebuah foto yang tenyata adalah foto Yesha (saat itu kebetulan saya ditugasi jadi juru foto acaranya). And I remember her, again. Ternyata, kunjungan ke panti asuhan itu keren. Keren dalam arti, kunjungan tersebut mengubah cara pandang saya, cara berpikir saya, dan cara saya memahami dunia di sekitar saya. Syukurlah, tidak cuma saya ternyata. Beberapa teman dari kelas lain keesokan harinya bercerita dengan hampir menangis mengenai kunjungan mereka ke panti asuhan lain yang ternyata penuh dengan anak2 yatim piatu yang rata2 cacat secara fisik dan cacat mental.

Jika Yesha masih sehat, seharusnya saat ini dia sudah kelas tiga SD. Dimanapun dia berada, saya berdoa, semoga saat ini dia masih hidup, somewhere, with her biological mother, and being happy :)
God Bless You Yesha

Friday 9 March 2012

Pffffft~!! You dont say....

It's just another day, looking through my facebook newsfeed, and found this in one of my friend's(?) album.
It's quite funny to find something like this in her album, because these words should've been said from me to her, and to so many friends(?) in my highschool days.

Highschool is hell. I got bullied by the people that I've considered as my bestfriends.

They cheat on an exam. As a naive class rep, I have never cheat on anything, and I got disappointed by what my "bestfriends" have done. I ask another student for opinion, on whether I should tell the teacher or not, but that student tell my "bestfriends" that I'm about to tell them to the teacher.

Thus, my hell began.

These "bestfriends" tear tissues into small pieces, rolled them into a ball and throw it to my back-then curled hair for fun, and saying things like "do you smeel a stench somewhere?" when they're near me.
Somehow I got through the bullying. And in my last senior high year, the more-or-less same trouble happened to my bestfriend, and when i stand to defend her, we're getting exiled by the rest of the school, included this friend(?) that has such picture in her facebook album.

Honestly. I AM the one who should've told her these words.

Yes, I forgive her. I could lightly talked to them like nothing ever really happened and have a good laugh together, but I will NEVER forget the damage that she and the other fucking students done to me and my best friend's past. As a bonus, I could never open up myself to other people that sincerely want to be friends with me. Even now.

They're lucky I didn't get myself killed or suicide when they bullied me. I can guarantee that I would be the worst-grudge-holding evil spirit that haunt them all to death if that happens.